Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan, Diah Setia Utami,
menyatakan bahwa penderita gangguan jiwa termasuk skizofrenia dapat
ditangani di pusat layanan kesehatan primer seperti Puskesmas (Pusat
Kesehatan Masyarakat).
"Kita kan sekarang sedang jalani program bebas pasung, yang jelas
penata laksanaannya itu adalah penderita skizofrenia atau pun gangguan
jiwa lainnya harus bisa dilayani dengan baik di layanan primer,
sekunder, dan tertier," ujar Diah usai peluncuran kampanye ’Lighting the
Hope for Schizophrenia’ di Jakarta,seperti dikutip dari Antara, Rabu
(31/7/2013).
Bila layanan kesehatan primer akan diberikan di Puskesmas, maka pelayanan sekunder akan diberikan di Rumah Sakit Umum.
Sementara pelayanan tertier akan diberikan di Rumah Sakit Jiwa.
Untuk
pelayanan primer, Diah mengungkapkan bahwa Kemenkes sudah memberikan
pelatihan kepada para dokter di puskesmas agar siap dan berani menangani
kasus-kasus skizofrenia dan gangguan jiwa lainnya termasuk kondisi
gawat darurat.
"Mereka sudah dilatih dalam waktu lima hari, bagaimana penanganan dan tanggap darurat terhadap kondisi-kondisi tersebut," kata Diah.
Diah juga menyayangkan bahwa masih banyak masyarakat bahkan anggota keluarga penderita gangguan jiwa yang masih memiliki stigma bahwa penderita gangguan jiwa itu berbahaya, menular, dan terkutuk, sehingga perlu dijauhi.
"Ini adalah stigma yang salah dan harus dihindari. Para penderita gangguan jiwa itu bisa kembali pulih dan beraktivitas seperti masyarakat lainnya," tegas
Oleh sebab itu sebanyak sembilan ribu kader kesehatan jiwa di 12 provinsi Indonesia juga disiapkan untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Kedua belas provinsi tersebut merupakan provinsi yang diduga memiliki prevalensi yang tinggi terhadap risiko terjadinya gangguan jiwa berat.
"Ini kerjasama dengan Community Mental Health Nursing dari FKUI, merekalah yang membantu bahwa masyarakat dengan gangguan jiwa itu tidak perlu ditakuti dan bisa kembali pulih," imbuh Diah.
"Mereka sudah dilatih dalam waktu lima hari, bagaimana penanganan dan tanggap darurat terhadap kondisi-kondisi tersebut," kata Diah.
Diah juga menyayangkan bahwa masih banyak masyarakat bahkan anggota keluarga penderita gangguan jiwa yang masih memiliki stigma bahwa penderita gangguan jiwa itu berbahaya, menular, dan terkutuk, sehingga perlu dijauhi.
"Ini adalah stigma yang salah dan harus dihindari. Para penderita gangguan jiwa itu bisa kembali pulih dan beraktivitas seperti masyarakat lainnya," tegas
Oleh sebab itu sebanyak sembilan ribu kader kesehatan jiwa di 12 provinsi Indonesia juga disiapkan untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Kedua belas provinsi tersebut merupakan provinsi yang diduga memiliki prevalensi yang tinggi terhadap risiko terjadinya gangguan jiwa berat.
"Ini kerjasama dengan Community Mental Health Nursing dari FKUI, merekalah yang membantu bahwa masyarakat dengan gangguan jiwa itu tidak perlu ditakuti dan bisa kembali pulih," imbuh Diah.